Sabtu, 18 September 2010

Finding Ben



Karya : Barbara Lasalle
Diterbitkan pertama kali oleh penerbit PT. Bhuana Ilmu Populer
No. Anggota IKAPI: 246/DKI/04
Tebal: 392 halaman.

Sinopsis.
KISAH NYATA seorang anak penyandang Sindrom Asperger.
"Yang ingin kupercayai adalah Tuhan mendengar tangisanku dan turun membantuku sesuai dengan situasiku. Ia membantuku ketika aku butuh bantuan, dan Ia datang sebagai seorang neo-Nazi botak yang badannya penuh tato. Aku tahu Tuhan itu ada, karena aku merasakan kasihNya di saat aku merasa paling tidak berdaya."
__Ben (Saat berusia 20 Tahun, dalam penjara)

Banyak hal dibutuhkan seorang anak dalam hidupnya selain informasi, selain paparan dingin fakta. Tetapi tidak demikian halnya dengan Ben. Ia mengumpulkan, mengingat, dan menyimpannya seperti komputer. Namun, aku tidak menginginkan anakku seperti komputer, yang kuinginkan hanyalah anak kecil yang normal.

Aku siap menjadi orang yang lebih baik. Aku siap menjadi ibu yang lebih baik, tetapi ada yang salah dan sangat buruk. Dan ketika aku mulai menyadari kebenaran itu, jantungku serasa ditikam sembilu.

Akankah aku menjadi ibu yang lebih baik, kalau saja sejak awal aku sudah menyadari bahwa sebagian besar perasaan kecewa dan maluku bukanlah kesalahan Ben? Akankah Ben lebih dapat menerima kondisi dirinya sendiri, kalau saja ia menyadari bahwa sejak lahir ia mengidap Sindrom Asperger? Akankah perjalanan kami bersama menjadi lebih mudah?

Ulasan Singkat.
"Buatlah daftar belanja, Ben. Ibu takkan mengajakmu berbelanja tanpa daftar itu."
"Sudah, Bu." jawab Ben.
"Baiklah, mana?"
"Di kepalaku, di sini semuanya ada."

Aku dan putraku berada di Costco, toko serba ada, untuk membeli kebutuhan besar kertas toilet, handuk kertas, cabai, tuna, dan dada ayam beku tanpa tulang.
Ben mendorong kereta belanja, dan aku mengikutinya di belakang, terus mengawasinya. Kami sudah melakuka ritual ini selama bertahun-tahun.

"Keju? Kamu boleh makan keju? Kenapa kamu harus makan keju? Keju membuat gemuk. Keju penuh kolesterol. Keju tidak baik untuk asmamu," kataku selama 30 tahun ini untuk menasihati, mengomentari, menyarankan. Apa yang belum pernah dikatakan selama jangka waktu yang panjang itu? Itu sudah cukup untuk kami berdua. Aku lelah mencoba megubah putraku. Aku lelah memandanginya dan melihat lapisan lemak di tubuhnya, mendengarkan bicaranya, dan mendengar napasnya yang berbunyi, tersentak melihat kakinya yang rata, melihat ekspresi wajahnya yang kaku tidak pernah berubah, melihat tatapan matanya yang kosong. Aku lelah mencoba mendapatkan jawaban langsung dari orang yang tidak jujur, walaupun orang itu adalah anakku.

Namun, selelah apapun diriku akan perilaku Ben, aku juga lelah berperilaku layaknya diriku selama ini. Aku lelah mencoba mengubah apa yang tidak mampu aku ubah. Aku lelah mengawasi troli belanjaannya, mengingatkannya untuk menarik celananya ke atas, bertanya apa ia sudah membawa inhaler-nya atau apa ia tadi mendapat teman baru.

"Barbara?"
Aku berpaling dan melihat wajah yang kukenal.
"Oh, hai," kataku.

Dan langsung saja aku dihinggapi dua rasa malu: Ben, dan kenyataan bahwa aku tidak ingat nama wanita itu. Salah satu mataku tersenyum pada wanita tanpa nama itu, sementara mata yang satunya terus mengawasi putraku. Aku mendambakan harapan yang kukenal, harapan yang mustahil, harapan yang memalukan, salah, dan buruk sekali: Aku berharap Ben berkeliaran jauh sehingga aku tidak perlu mengenalkannya. Namun ia tidak berkeliaran. Ia berdiri di sana, seperti yang dilakukannya selama 30 tahun ini, mondar-mandir, dengan tubuh seberat 211kg. Sebelum aku sempat menghindar, wanita itu menunjuk Ben dan menanyakan sesuatu yang bahkan tidak ingin ia tanyakan.

"Apakah ini putramu?"
"Oh." Aku pura-pura terejut. "Ya. Ini Ben... putraku."
Ben menjabat tangannya. "Halo," kata Ben. "Senang bertemu denganmu."

Aku memerhatikan Ben saat ia menjawab pertanyaan wanita itu. "Ya. Aku tinggal di Culver." Ucapan biasa dari orang yang tidak biasa. Namun selain ucapannya, tidak ada yang biasa dari Ben. Seperti halnya juga tidak ada yang biasa dariku, seorang ibuyang berharap anaknya menghilang.

Akan tetapi antara ikatan kami, walaupun kompleks, tidak pernah terlepas. Di mata masing-masing, kami pernah melihat sifat terbaik dan terburuk kami.

Ben sangat berbeda, tidak membaur, seperti orang lain yang kuanggap normal, ironi yang tidak memperkecualikan diriku. Itu menghantui, menghukum, dan mempermalukan aku. Namun, dampak dari hal itu pada Ben lebih buruk. Karena -selain Sindrom Asperger; obesitas; asma kronis; penyakit Crohn; organ, tulang, dan kelenjar yang rusak oleh kortison; metabolismenya yang rusak tidak akan mengurangi sedikitpun lemaknya- ia mengetahui semua itu.

Putraku menyadari bahwa terakhir kalinya aku ingin memperkenalkan dirinya adalah ketika ia berumur 4 tahun. Ketika aku masih bangga padanya. Ketika aku ingin seisi dunia mengetahui bahwa ia putraku karena, Lihat! Ia mampu menghafal pembukaan Konstitusi; ia tahu semua jalan di London walaupun ia hanya melihat London di peta; ia bisa menghafal daftar kronologis dari setiap diktaror, presiden, perdana menteri, gubernur, dan walikota serta setiap pemikiran penting mereka. Kamu bahkan tak perlu bertanya.

Benjamin Daniel lahir pada tahun yang sama dengan tayangan perdana Sesame Street, yang diakuinya sebagai caranya belajar membaca. Pada usia 18 Bulan.

Kami sedang berada di pesawat terbang, hanya kami berdua sekembalinya dari kunjungan ke rumah orangtuaku di Florida, saat aku mengetahuinya. Aku membawa PlayDoh dan kue pretzel, mainan puzzel, beberapa orang-orangan, miniatur kayu tokoh Fisher-Price yang disayanginya. Dan tentu saja buku. Selalu buku. Aku tidak bisa pergi ke mana pun tanpa buku. Ibu lain menyuap dengan televisi, mainan, permen, dan permainan. Tetai bukan aku; aku menyuap dengan buku. Ben bisa duduk berjam-jam membaca buku, di mana pun, kapan pun.
Tak lama kemudian, ia mulai mengucapkan kata terakhir dari setiap halaman, dan aku berpikir, Oh, tentu saja -kenapa tidak? Lagi pula, ia sering mendengarnya, sekarang ia mengingatnya. Namun kemudian di pesawat terbang pada hari itu, ketika ia berumur 18 bulan, aku menyadari bahwa dugaanku salah. Anakku hanya tidak mengulangi kata-kata; ia membaca.

Pertama, ia menunjuk tulisan di atas kepala -"Dilarang Merokok", "sabuk Keselamatan", "Keluar"- dan membacanya satu per satu. Aku senang, tetapi terkejut, karena ada gambarnya: ia mungkin "membaca" gambar. Namun kemudian, ia melihat majalah American Airlines. Ia mengambilnya, memberikannya padaku, dan meminta, "Bu, baca." Apa yang harus dibaca di majalah perusahaan? Aku membolak-balik halaman, mencari gambar pesawat terbang atau gambar orang melakukan sesuatu yang menarik, seperti main ski, berseluncur, atau naik sepeda. Ada gambar utuh seorang anak laki-laki yang dapat kutunjuk dan kukarang-karangkan cerita. Tetapi Ben tidak mau dibodohi. "Bukan, Bu," paksanya, menunjuk ke satu halaman tanpa gambar. "Baca yang ini." Dan aku mulai membaca catatan perjalanan membosankan mengenai suatu kalimat ketika Ben menyela, menunjuk pada kata berikutnya. "Yang," bacanya, dan kemudian, "sangat," diikuti dengan "jauh."

Aku mengingat kejadian itu. Ketika Ben mengingat warna kamar tidur pertamanya. "Warnanya kuning, Bu."

Tetapi bagaimana kamu bisa yakin? Kita pindah saat kamu berumur 19 bulan."

"Ingatanku," jawab Ben, "seperti film dengan gambar-gambar yang terus bertambah." Kemudian ia berhenti, menatap ke dalam dunia pribadinya di mana aku tidak bisa menemukannya, di mana aku pernah mencoba dengan penuh harapan di hati, sehingga pada suatu hari -aku tidak ingat kapan- aku tersadar bahwa aku tidak pernah bisa memasukinya.
"Maafkan aku, begitulah aku."
Begitulah Ben.

Sudah 30 tahun berlalu sejak peristiwa kamar tidur kuning di mana Ben menghabiskan 19 bulan pertama kehidupannya itu. Namun sampai sekarang, aku tidak berniat merenggut kemampuannya dalam mengingat suatu sore, suatu pagi, satu menit dari masa kecilnya, dan mengutarakannya secara lengkap, detail demi detail yang membosankan. Yang aku tahu adalah kesamaannya: informasi. Fakta berkilau yang baru ditemukannya, permainan berharga yang hanya berarti bagi Ben, otaknya yang genius, dan akan digunakan kapan pun ia mau. Kadang ia membutuhkannya untuk kenyamanan, ketika ia merasa kesepian karena tidak seorang pun mau bermain dengannya. Terkadang ia menggunakannya untuk menyombongkan diri; seperti yang pernah kutunjukkan padanya; tetapi biasanya ia gunakan karena begitulah Ben.

"Ayo, Ben," ganggu anak-anak itu. "Ucapkan Deklarasi Kemerdekaan."

Ia mengeluarkan data tercintanya, tempat persembunyian manis dari pengetahuan yang ia banggakan, persemayaman sejati yang paling setia, dan berenang-renang di ombak hangat yang dikenalnya, jauh dari anak-anak yang tidak mengerti, jauh dari orang dewasa yang menontonnya demi hiburan, dan terutama jauh dariku, ibunya dengan senyum yang palsu.

Putraku dengan ingatan menakjubkan, putraku dengan otak yang besar, anak yang kuharap bisa kukenal layaknya detak jantungku. Namun, anak itu mengucapkan serangkaian kata, dan aku tidak bisa menemukan jejaknya. Aku tidak bisa menemukan anak itu.

Banyak hal dibutuhkan seorang anak dalam hidupnya selain informasi, selain paparan dingin fakta. Tetapi tidak demikian halnya bagi Ben. Informasi adalah hidupnya, nutrisinya. Ia mengumpulkan, mengingat, dan menyimpannya seperti komputer, menghimpunnya seperti tupai maniak yang bersiap menghadapi musim dingin yang takkan berubah menjadi musim panas. Namun, aku tidak menginginkan anakku seperti komputer; yang kuinginkan hanyalah anak kecil yang normal.

Aku siap menjadi orang yang lebih baik, tetapi ada yang salah dan sangat buruk. Dan ketika aku mulai menyadari kebenaran itu, jantungku serasa ditikam. Kebanggaan, sukacita dalam diriku, berubah menjadi ketakutan, dan aku merasakan dinding mulai ambruk sehingga memisahkan kehidupan yang kuharapkan, dari kehidupan yang kujalani.

Akankah aku menjadi ibu yang lebih baik bagi putraku, kalau saja sejak awal aku sudah menyadari bahwa sebagian besar kekecawaan dan rasa maluku bukanlah kesalahan Ben? Akankah Ben lebih dapat menerima kondisi dirinya sendiri kalau saja ia menyadari bahwa sejak lahir ia mengidap kondisi kejiwaan yang menyulitkan, yang disebut Sindrom Asperger? Akankah perjalanan kami bersama menjadi lebih mudah?

Aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan ini. Yang aku tahu hanyalah bahwa kejadiannya seperti itu, di saat kami belum mengetahuinya, dan seperti sekarang, di saat kami sudah menyadarinya. Inilah kisah kami. FINDING BEN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar